Gilang dan Koran
Oleh : Frida Laksmita Dewi
Gilang berjalan menuju teriknya
matahari yang siang itu mungkin sangat menyilaukan mata. Juga pasti akan
menghitamkan kulit menjadi hitam legam. Kini yang dia pikirkan hanya setumpukan
koran yang dia bisa bawa. Kemudian dia jajakan ketika lampu lalulintas menjadi
merah. Dia tawarkan kepada yang beroda empat atau beroda dua. Entah harapannya
kini hanyalah demi kesembuhan ibunya.
“Koran, cuman kamu satu-satunya
harapanku untuk senyum Ibu kembali.” Katanya dengan setumpukan koran itu.
Tapi sudah beberapa lamanya. Hingga
setengah harian penuh sampai matahari mulai meninggi. Tak kunjung juga korannya
laku hari ini. Dia kemudian tak habis akal, dijajakannya lagi koran itu
ditiap-tiap lampu lalu lintas. Hingga saat yang tak terduga terjadi, ketika
Gilang berhenti di depan mobil untuk menawarkan korannya.
“Itu Gilang, bukan Nis?.” Kata salah
seorang yang berada di dalam mobil, tepat Gilang ada di depannya sambil membawa
koran.
“Eh, iya Sril. Itu Gilang. Kenapa dia
ada dijalan dan membawa koran?.” Jawab gadis itu dengan nada yang keheranan tak
percaya.
Ketika Gilang menawarkan korannya di
mobil temannya. Diapun kaget dan lari, tapi kedua temannya mengerjarnya. Hingga
Gilang lelah dan merasakan sudah tidak dikejar-kejar lagi oleh kedua temannya
tadi. Gilang duduk, berteduh di bawah pohon. Mulai merasakan nikmat dari-Nya.
Sederhana saja, angin yang semilir dan berteduh di bawah pohon sudah membuat
hati Gilang tidak di kejar-kejar kedua temannya tadi. Hingga Gilangpun tertidur
lelap di bawah pohon yang rindang itu.
Gilangpun yang tampak sudah segar
kembali, meninggalkan sejuknya pohon itu. Dan mulai menapakkan kakinya menuju
rumahnya. Karena dirasa cukup uang hari ini setelah menjajakan koran seharian
penuh. Dan juga langit tampaknya memaksa Gilang untuk bergegas menuju ke rumah.
Ada apa ini, nampak hatinya gelisah.
Bukan karena ketahuan dengan kedua temannya, kalau dia seorang penjual koran
jalanan. Tapi sepertinya aneh, tidak seperti biasanya. Rasa ketakutan mulai muncul.
Segeralah Gilang berjalan menapakkan kakinya lebih cepat dan bergegas ingin
cepat pulang ke rumah.
Sampailah dia di rumah dan harus
melihat kenyataan bahwa Ibunya yang dicintainya. Sosok yang paling membuatnya
kuat merasakan pahitnya hidup. Dan juga seseorang yang mampu memberinya
semangat untuk tetap terus belajar dan belajar menuntut ilmu. Kini sudah
diambil nyawanya oleh Sang Kuasa. Gilang segera memeluk Ibunya dengan erat.
“Ibu, tolong bangun. Jangan
tinggalkan Gilang sendiri Bu.” Kata Gilang sambil terisak menangis.
“Ibu, Gilang berjanji akan menjadi
sarjana. Apa Ibu tak ingin melihat Gilang memakai toga?.” Kata Gilang kepada
Ibunya yang kini diam membisu.
“Ibuuuuuu. Gilang belum sempat
membuat bangga Ibu.” Tangis Gilang memuncak.
Tanpa sadar Gilang terbangun di
bawah pohon yang rindang, sambil berteriak memanggil Ibunya.
“Ternyata hanya mimpi.” Kata Gilang
sambil mengusap keringat yang menemami tidurnya tadi. Lalu ada kedua sosok
temannya yang ternyata sudah lama duduk menemani tidurnya Gilang yang
disebabkan rindangnya pohon.
“Kalian kenapa disini?.” Kata Gilang
yang segera bangkit dan ingin meninggal kedua temannya itu.
“Gilang, kami berdua kesini mencari
kamu.” Kata Nisa teman satu kuliah Gilang yang menarik tangan Gilang, berharap
jangan pergi meninggalkan tempat ini.
“Kalian mau apa kesini?. Mau
menghinaku? Mau menertawakanku?. Kalau aku cuman seorang tukang koran jalanan
!.” tegas Gilang.
“Bukan begitu. Kita berdua mencari
kamu. Karena sudah hampir seminggu lebih kamu tidak masuk kuliah. Kenapa? Ada
apa?.” Tanya Asril.
“Ibuku sakit. Aku harus harus
mencari uang dengan berjualan koran. Cuman ini yang bisa kukerjakan dengan
halal.” Jelas Gilang.
“Kenapa tidak cerita ke kita?. Kami
berdua bisa membantu pengobatan Ibu kamu.”
Gilang hanya terdiam dan suasana
menjadi sangat hening. Terpecahkan oleh suara kaki Gilang yang bangkit
meninggalkan tempat itu.
“Gilang, kalau Ibu kamu tidak segera
diobati. Nyawanya akan hilang. Kasian Ibu kamu.” Teriak Nisa yang berusaha
menghalangi Gilang untuk bangkit dari tempat ini.
Gilang terkejut dan mengingat mimpi
dia tadi tentang Ibunya. Hati kecilnya beradu, entah harus bagaimana. Kemudian
dia merogoh saku celanannya. Hanya selembar uang dua ribu rupiah. Bisa apa dia
dengan semua itu. Dengan raut muka yang sungkan, dia menganggukan kepalanya.
Mengiyakan pertolongan kedua temannya.
Mereka bertigapun segera menuju
rumah Gilang dan membawa Ibunya ke rumah sakit. Hingga sampai beberapa minggu
Ibu Gilang sudah sehat kembali. Dan berterima kasih kepada Nisa dan Asril teman
satu kuliah Gilang. Mereka bertigapun menjadi sahabat dan selalu bermain di
rumah Gilang. Entah mengerjakan tugas kelompok atau sekedar berbincang.
Tamat.